Berikut adalah opini Anda dalam gaya satir dan absurd, dengan nada menggigit namun tetap bernas, dikembangkan hingga sekitar 800 kata:
Ijazah Si Mantan dan Lima Kebetulan Semesta
Di sebuah republik yang hobi berdebat tentang hal-hal yang lebih mirip teka-teki silang daripada kebijakan publik, terseliplah kisah tragis sekaligus komedi: dugaan ijazah palsu seorang mantan pejabat publik. Tapi tenang saja, ini bukan cerita detektif. Ini lebih dekat ke sinetron dengan twist politik, dibumbui konspirasi, air mata buaya, dan ketikan netizen dari ponsel yang layarnya retak.
Mari kita rangkai kembali puzzle absurd ini dengan kepala dingin dan sedikit minyak kayu putih.
1. Human Error: Ketika Foto Salah Tempel adalah Sebuah Takdir
Kita mulai dari hal yang sangat manusiawi: kesalahan. Ya, karena manusia adalah makhluk lemah, apalagi kalau sedang terburu-buru, atau mengerjakan tugas administratif sambil ngopi dan nonton sinetron jam lima sore. Bisa jadi, petugas kampus yang mengurus ijazah si mantan sedang pilek berat atau baru putus cinta. Maka, ditempelilah foto yang salah—mungkin bukan si mantan, tapi sepupunya, atau tetangga kos yang numpang ngeprint.
Teknologi afdruk foto zaman dulu pun tak bisa disalahkan. Kamera masih butut, warnanya sering lari ke jingga, dan hasilnya lebih mirip sketsa arang ketimbang foto identitas. Kalau pun salah cetak, ya wajar. Namanya juga era analog—di mana cinta dan kertas ijazah sama-sama rentan terbakar oleh waktu.
2. Mismanagement Kampus: Chaos yang Terorganisir
Lalu kita lihat ke dalam kampus tempat ijazah itu lahir, atau lebih tepatnya—terseret. Di sana, ada birokrasi yang lebih rumit dari labirin Minotaur. Mungkin ada ruang arsip yang dipenuhi berkas sampai ke langit-langit, karyawan honorer yang bekerja pakai feeling, dan stempel yang berpindah tangan lebih cepat dari kabar gosip.
Saking kacaunya manajemen, bukan tidak mungkin ijazah bisa dicetak ulang sepuluh kali dalam seminggu, dengan font dan tanda tangan yang berbeda-beda. Hari Senin pakai rektor A, hari Kamis rektor B. Sebuah kreativitas administratif yang nyaris seni kontemporer.
3. Salah Persepsi: Ketika Semua Pihak Salah Dengar Tapi Tetap Yakin
Pendukung si mantan bilang: “Itu asli, kok!”
Oposisi menjawab: “Bukan, itu hasil fotokopi mimpi!”
Masalahnya, semua orang membaca kasus ini pakai emosi, bukan data. Si mantan memang bukan orator ulung—jika dia berpidato, bisa jadi publik pahamnya justru sebaliknya. Dia bilang “ijazah saya resmi,” yang terdengar seperti “ijazah saya rese.”
Di negeri ini, persepsi lebih penting dari realitas. Kalau cukup banyak orang bilang pohon itu bicara, besok-besok pohon bisa dapat slot podcast. Jadi, tidak heran jika si mantan dan ijazahnya akhirnya terjebak di antara tafsir, mimpi buruk kolektif, dan meme berantai.
4. Pencitraan: Seni Bertahan di Tengah Badai Tipuan
Si mantan ini bukan orang biasa. Dia punya bakat alami: mengolah keheningan menjadi bahan bakar opini. Alih-alih menutup isu ijazah, dia malah memeliharanya, seperti memelihara kucing galak. Mungkin ia sadar, dalam dunia digital, yang kontroversial lebih viral daripada yang jujur.
Dia tahu kapan harus diam, kapan muncul dengan senyum miring, dan kapan memposting foto nostalgia dengan caption “perjalanan tak pernah mudah.” Ia bukan hanya menikmati badai—dia menari di dalamnya, memetik hujan jadi nada dan petir jadi pencahayaan dramatis.
Apakah ini strategi pencitraan tingkat tinggi? Bisa jadi. Atau mungkin dia cuma hobi. Seperti kolektor perangko, hanya saja dia mengoleksi skandal.
5. Para Penggugat: Malaikat yang Tersandung Popularitas
Dari sisi lain panggung, muncullah para penuntut kebenaran. Mereka awalnya datang dengan niat murni: ingin meluruskan sejarah, menjaga integritas bangsa, dan mungkin menyelamatkan anak cucu dari ketidaktahuan administratif.
Namun seiring waktu, energi mereka tampak berbelok. Mulai muncul live IG, diskusi publik, kaus edisi “Ijazah Gate”, dan entah mengapa, kolaborasi dengan YouTuber konspirasi. Niat baik mereka, seperti spidol di papan tulis lembab, mulai luntur dan membentuk pola baru yang tak sengaja membentuk wajah ketenaran.
Apakah mereka masih mencari kebenaran? Mungkin. Tapi juga mungkin mereka sedang mencari like, follower, atau setidaknya undangan ke acara talk show malam minggu.
Epilog: Republik yang Terlalu Serius pada Hal yang Salah
Akhirnya, kita harus bertanya: apakah ini tentang ijazah, atau tentang siapa yang paling lihai memainkan absurditas zaman? Dugaan palsu, kesalahan teknis, pencitraan, dan kepahlawanan digital telah bercampur menjadi satu pertunjukan kolosal.
Negeri ini suka drama. Kita rela menghabiskan energi untuk mencari typo di dokumen lama, tapi enggan membaca dokumen kebijakan publik hari ini. Kita marah karena foto salah tempel, tapi cuek saat harga kebutuhan pokok melonjak.
Ijazah si mantan? Entah asli, palsu, atau metaforis, yang jelas dia telah lulus—dari universitas bernama Opini Publik, dengan predikat Cum Laude dalam Membelokkan Narasi.
Ingin versi ini dibacakan ala monolog panggung absurd atau format lainnya?
No comments:
Post a Comment